23 April 2009

Fenomena Global Warming: Antara Suratan dan Buatan

Oleh: Ach. Qusyairi Nurullah*)

Isu tentang adanya global warming (pemanasan global), memicu berbagai kalangan di seluruh dunia untuk menyikapinya. Berbagai tanggapan datang dari berbagai elemen masyarakat tersebut, semuanya bertitik tolak pada dampak negatif yang akan ditimbulkan. Namun, masih ada juga sebagian masyarakat yang tidak percaya dengan adanya pemanasan global. Mereka menganggap pemanasan global hanyalah sebuah isu belaka, seperti yang diungkapkan James Inhofe senator AS asal Republik. Ia menyatakan, bahwa pernyataan pemanasan global yang terjadi pada saat ini adalah omong kosong. Artinya, pada saat ini tidak ada yang namanya pemnasan global. Bahkan, Direktur NASA Michael Griffin dalam wawancara disebuah radio local di AS beberapa tahun lalu mengatakan, “Iklim bumi saat ini adalah iklim terbaik yang pernah kita punyai”.

Sementara itu, masyarakat yang merasakan adanya pemanasan global memberi peringatan bahwa pemanasan global merupakan masalah dunia membahayakan bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan karena itu harus segera dicarikan solusi. Seorang fotografer asal AS Spencer Tunick pernah mengajak 600 orang untuk berfoto telanjang di puncak gunung Alpen guna meyakinkan dan mengingatkan betapa seriusnya masalah pemanasan global. (Jawa Pos. 20/08/2007). Terlepas dari hal di atas, fenomena pemanasan global yang berdampak pada menipisnya lapisan ozon memiliki ruang tersendiri untuk kita kaji. Sebab, fenomena ini menyangkut masalah kerusakan bumi yang mengakibatkan pada timbulnya berbagai macam bencana alam.

Ada dua asumsi yang penulis tawarkan dalam meilihat dampak fenomena pemanasan global, yaitu fenomana pemanasan global sebagai sebuah bencana suratan dan sebagai bencana buatan. Dua asumsi dasar ini yang menjadi acuan penulis untuk menganalisa lebih jauh tentang fenomena pemansan global.

Merujuk pada asumsi yang pertama, bahwa pemanasan global merupakan sebuah bencana suratan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW. sebagaimana diceritakan oleh Kuswaidi Syafi’ie dalam sebuah esainya, bahwa konon pada waktu Nabi Muhammad SAW. pernah mendapatkan wahyu dari Allah yang menghendaki terjadinya personifikasi bagi dunia yang kala itu tampil dengan wujud seorang nenek yang peyot dan buruk rupa. Aneka penyakit berevolusi di dalamnya dan bau tidak sedap juga keluar dari dirinya. “Taukah kalian siapa perempuan yang buruk rupa itu”. Tanya Nabi kepada para sahabat. “Allah dan Rasulnya yang lebih tau”, jawab umat kala itu kebingungan. “Itulah rupa dunia”. Terang Rasulullah.

Sejarah tersebut jika di korelasikan dengan fenomena pemanasan global dengan segala dampak yang ditimbulkannya menemukan kebenarannya. Realitas menunjukkan pada kita, tragedi banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, letusan gunung, badai, mencairnya samudra es di wilayah artik antara 20-30 persen sejak tahun 1980, sehingga kutub utara terjadi krisis es, telah menjadi bukti bahwa bumi sedang “sakit sekarat”. Tentunya, yang pertama kali akan merasakan akibat dari kondisi bumi yang sekarat ini adalah manusia meskipun pada kenyataannya hewan dan tumbuhan juga terancam keselamatannya.

Dalam konteks ini, berarti manusia sepenuhnya berhadapan dengan realisasi takdir dan kehendak Tuhan yang tidak bisa ditawar. Mungkin saja Tuhan bermaksud menunjukkan kepada manusia bahwa bumi ini sangatlah lemah dan menjadi bukti tidak adanya yang kuasa selain Tuhan. Mungkin pula, suratan Ilahi bertajuk pemanasan global ini, merupakan ujian atas canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi agar terus berkembang menjadi lebih baik. Atau boleh jadi ini merupakan sindiran Tuhan atas menggeliatnya ketergantungan manusia pada teknologi, yang menempatkan Tuhan pada posisi paling akhir.

Dalam posisi seperti itu, wajar saja jika Tuhan menakdirkan pemanasan global sebagai peringatan terhadap rapuhnya keyakinan (iman) manusia akan keesaan dan kekuasaan Tuhan. Memang sudah sepatutnya Tuhan memberi peringatan sebagai bentuk curahan kasih sayang kepada manusia, supaya mereka sadar, posisinya di dunia hanyalah sebagai hamba. Meski provesi manusia di dunia sebagai pemimpin, bukan berarti boleh berlagak sombong (berkuasa), sebab tujuan utama Tuhan menciptakan makhluk hanyalah untuk sebuah pengabdian kepadaNya.

Asumsi kedua, bahwa pemanasan global merupakan bencana buatan dapat kita lihat dari prilaku manusia yang tidak lagi ramah pada alam. Perusakan hutan, penambangan liar dan penebangan hutan dengan cara brutal secara valid telah terbukti mengakibatkan bencana dari 1980 hingga 2004. Perbuatan-perbuatan tidak bersahabat dengan alam itu telah mengakibatkan 1.150 kali bencana. Ternyata, keyakinan nenek moyang bangsa Indonesia benar, jika alam dirusak maka akan menimbulkan 1001 bencana dan malapetaka.

Ironisnya, realitas suram ini tidak dibarengi dengan kesadaran untuk menggalakkan gerakan peduli lingkungan. Pemerintah—yang seringkali disebut sebagai pejabat karena jabatan yang diembannya—yang seharusnya bertanggung jawab atas kelestarian alam, malah bertindak banal terhadap alam. Nama-nama seperti Al Amin Nur Nasution (anggota DPR), Azirwan (sekda bintang) yang ditangkap di Hotel Ritz Calton Mega Kuningan, Jakarta, oleh KPK dituduh ikut serta dalam kasus penyuapan hutan lindung di Bintan, Kepulauan Riau, serta nama Brigjen zaenal Arifin (kapolda Kalimantan barat) dan tiga anggota Polres Ketapang yang menjadi becking pembalakan liar di Ketapang, hanyalah segelintir nama dari sekian banyak pejabat yang melakukan pengrusakan secara diam-diam.

Pembalakan liar secara struktural ini semakin di perkuat oleh adanya kebijakan pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 2/2008 yang dianggap sebagai salah satu upaya dalam melestrikan hutan lindung. Padahal, dengan adanya PP ini hutan lindung kita diobral dengan murah, sekitar 1.2 juta sampai 3 juta per hektar, per tahun untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur, telekomunikasi, dan sebagainya. (Goei Tiong Ann Jr. JP. 06/03/08)

Adanya industrialisasi yang menyebabkan kerusakan hutan telah berdampak pada perubahan suhu di bumi. Sebab, semakin menipisnya vegetasi akibat hilangnya hutan menyebabkan CO2 semakin meningkat. Keberadan CO2 atau zat-zat kimia lain sperti CEF (chlorofluorocarbon) dari aerosol, sistem pendingin, dan kulkas. Selain itu, polusi udara juga akan menyingkirkan lapisan, membentuk lubang ozon dan membuat radiasi matahari masuk langsung ke bumi. Ia memberi pengaruh pada stratosfir. Di situ terdapat lapisan ozon yang menlindungi bumi dari radiasi matahari. (siti Nurbaya. JP. 22. 11. 2007)

Dari dua asumsi di atas kita dapat memahami bahwa penyebab utama pemanasan global adalah manusia. Pemanasan global yang kemudian menyebabkan bencana dalam konteks suratan takdir Tuhan ternyata masih berkaitan erat dengan tingkah laku manusia. Kesombongan manusia, keserakahan manusia dalam mengeksploitasi bumi menjadi penyebab utama diturunkannya takdir Tuhan yang berupa pemanasan global. Nah, dengan demikian bisa dibenarkan, jika pemanasan global yang menyebabkan kerusakan di bumi ini adalah ulah manusia.

Meski dipandang secara sekilas terdapat perbedaan faktor, yakni suratan takdir dan non-takdir alias karena ulah manusia sendiri, namun ujung pangkal dari dua asumsi tersebut bermuara pada manusia sebagai pemeran utama bagi keharmonisan jalannya kehidupan di muka bumi. Manusia yang diciptkan oleh Tuhan untuk menempati bumi ini, tentunya dibekali dengan aturan main yang indah dan menyehatkan, sehingga kelangsungan hidup manusia menjadi harmunis.

Dengan demikian, pemanasan global ini harus betul-betul difikirkan secara serius, dicarikan solusi secara tepat, salah satunya dengan menjaga kelestarian lingkungan terutama hutan. Penghijaun harus terus dilakukan di berbagai belahan dunia, terutama bagi Negara yang banyak menghasilkan gas rumah kaca. Akhlak manusi aterhadap lingkungannya juga harus dibangun mulai saat ini.

*) Divisi Kajian dan Pengembagan Sumberdaya Manusia BPM-PPA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lalu Lintas Tamu